Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, Killing Fields berarti lapangan pembunuhan, atau ladang pembantaian. Sesuai dengan namanya, tempat ini adalah bukti bahwa memang benar di rentang waktu antara tahun 1976-1979 telah terjadi satu dari sekian tragedi pembunuhan dan pembantaian massal paling biadab terhadap umat manusia yang pernah ada di Asia, khususnya Asia Tenggara. 

Siapa Sosok Kejam di Balik Tragedi Ini ?

Adalah Pol Pot, yang bertanggung jawab atas tragedi ini. Terlahir dengan nama Saloth Sar, namun kemudian lebih dikenal sebagai Pol Pot,  pemimpin tertinggi gerakan Khmer Merah di Kamboja. 

Di tahun 1975, karena adanya perang saudara yang terjadi di negara ini, telah memberikan kesempatan kepada rezim Pol Pot untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan saat itu yang dianggap pro-Amerika. 

Rezim ini ingin merubah bentuk negara menjadi sosial agraris dengan ideologi komunis. Segera setelah berkuasa, Pol Pot langsung menutup sekolah-sekolah, pabrik-pabrik, memindahkan warga kota ke pedesaan dan memaksa mereka untuk bertani. Kota-kota dikosongkan, dan semua pengaruh barat berusaha dihilangkan sampai ke akar-akarnya. 

Pol Pot memerintahkan pembantaian besar-besaran terhadap mereka yang berseberangan dengan Khmer Merah. Siapapun yang berkaitan dengan pemerintahan sebelumnya, atau dianggap berpotensi memberontak dan membahayakan, mereka ditangkap dan disiksa dengan kejam, sebelum kemudian akhirnya dibunuh. Ada ribuan orang yang ditahan dan disiksa di penjara Tuol Sleng S-21 ( nanti akan mamak tulis artikel tersendiri tentang tempat ini ), dan kemudian dibawa ke Killing Field untuk dibunuh.

Para professional seperti guru, dokter, pengacara, cendekiawan, tentara dan orang-orang pemerintahan menjadi target utama golongan yang harus dilenyapkan. Tidak perduli berapapun umur, jenis kelamin, dan kebangsaan mereka. Bahkan hanya karena mereka berkacamata dan menggunakan jam tangan, dan terlihat terpelajar, cukup menjadi alasan untuk masuk dalam daftar target pembunuhan.

Perjalanan ke Killing Fields

Killing Field berada di Desa Cheung Ek, 18 km di sebelah selatan kota Phnom Penh, jadi tidak sulit untuk mencapai tempat ini. Kita bisa menyewa tuktuk, ataupun taksi, karena perjalanan hanya akan memakan waktu sekitar 30-40 menit saja. Banyak juga orang yang datang dengan menyewa motor. 

Kami menyewa tuktuk yang sama dengan tuktuk yang pertama kali menjemput kami di bandara. Tidak mudah menemukan supir tuktuk yang bisa dipercaya, dan tidak berusaha “mengakali “ harga. Beruntung ketika sehari sebelumnya kami sampai di Phnom Penh, kami bertemu dengan supir tuktuk yang baik hati yang mengantar dari bandara ke hotel. Langsung saja kami janjian untuk ke tempat ini keesokan harinya dan sepakat dengan harga USD $15 untuk pulang pergi, dan Pak Supir tuktuk akan menunggu sampai kami selesai.

Wait wait, USD?  Iyaa, ada 2 mata uang yang berlaku di negara ini, Riel dan USD. 

Jam sudah menunjukkan pukul 11.00 siang ketika kami berangkat dari pusat kota Phnom Penh. Udara terasa panas dan kering. Sepanjang perjalanan, kami melewati banyak area yang terlihat kurang tertata dan berdebu. Kali ini, masker yang kami gunakan jadi double function, sebagai covid prokes, juga untuk menghindari menghirup debu tebal. 

Atas saran dari supir tuktuk, mamak sangat berhati-hati dengan barang bawaan mamak. Mamak tidak mengambil foto dengan handphone mamak dengan tangan terjulur keluar, karena banyak kejadian perampasan handphone pada saat sedang digunakan. Bahkan mamak melingkarkan tali tas mamak ke kaki mamak, berjaga-jaga jangan sampai ada yang mencoba menjambret selama kami duduk di dalam tuktuk. 

Killing Fields Kamboja
Ekstra waspada dengan barang bawaan.

Killing Fields yang Mencekam

Sampai di tujuan, kami membayar tiket masuk sebagai turis asing seharga USD $3/orang tanpa mendapatkan pinjaman “ audio tour guide “ dalam bentuk headphone. Harga normal tiket masuk ke tempat ini sebelum pandemik adalah USD $6, sudah termasuk audio tour guide. Nantinya, saat menjelajah tempat ini, dari audio guide tersebut pengunjung bisa mengikuti arahan dan mendengarkan kisah pilu di balik setiap stasiun yang ada.

Saat melangkahkan kaki ke dalam area Killing Fields, pemandangan pertama yang mamak lihat adalah sebuah monumen putih di tengah-tengah lapangan rumput hijau dan luas, dan di kelilingi pepohonan rindang. Alih-alih sebagai museum, suasana di tempat ini lebih terasa seperti pekuburan. Sunyi dari kebisingan dan riuh kehidupan manusia. Suara yang terdengar hanyalah suara angin, gesekan dedaunan yang tertiup angin, dan suara tongkeret.

Killing Fields Kamboja
Killing Fields Monument

Tidak banyak pengunjung yang datang ketika kami ada di sana, hanya ada sekitar 10-12 orang. Mamak melihat, mimik muka dan ekspresi setiap pengunjung terlihat sedih dan muram, dengan alis mata berkerut dan sinar mata menerawang ketika mereka selesai melihat monument putih itu.

Ada apakah di dalam situ..?

Berjalan semakin mendekat ke bangunan bergaya arsitektur Kamboja tersebut, mamak mulai mengerti mengapa para pengunjung terlihat sedih dan muram. 

Bagaimana tidak sedih dan pilu jika melihat ratusan tengkorak manusia tersusun di dalam rak kaca yang ada di dalam monument ini. Tengkorak dari manusia-manusia yang mati dengan cara mengenaskan karena kekejaman manusia lainnya. Dan tengkorak-tengkorak itu asli! Setiap tengkorak diberi tanda sesuai dengan umur, jenis kelamin, dan dengan senjata apa dia dibunuh dan disiksa. Bayangan tentang betapa tersiksanya pemilik tengkorak-tengkorak ini ketika menjemput ajal sungguh menyesakkan dada. 

Di dalam rak kaca yang tinggi menjulang itu juga ada baju-baju yang dikenakan korban ketika meregang nyawa, serta senjata-senjata tajam dan benda tumpul yang digunakan sebagai alat penyiksa. Ribuan tengkorak dan tulang belulang ditemukan terkubur di lapangan rumput ini ketika rezim Khmer Merah berhasil dikalahkan oleh tentara Vietnam. Secara keseluruhan, tragedi ini menghilangkan nyawa kurang lebih 2 juta jiwa dari total penduduk Kamboja yang pada saat itu berjumlah 8 juta jiwa. Bayangkan, hampir seperempat dari keseluruhan populasi manusia di negara ini!

Killing Fields Kamboja
Rak kaca berisi ratusan tengkorak korban rezim Khmer Merah

Pol Pot sengaja melarang anak buahnya untuk membunuh dengan cara menembak, semata-mata hanya karena ingin menghemat peluru, yang artinya adalah menghemat biaya. Dan akhirnya manusia-manusia malang ini dibunuh dengan cara dipukuli, diinjak-injak sampai mati, dihantam dengan benda tumpul dan keras, ditusuk, dan juga dibacok dengan celurit. Sungguh mengerikan!!

Namun, ada 1 kekejaman rezim ini yang sungguh sangat biadab yang rasanya sulit dipercaya mampu dilakukan oleh seorang manusia, adalah menyiksa dan membunuh bayi dan anak-anak yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa sama sekali. Dan itu dilakukan di hadapan orang tua mereka! 

Hati orangtua mana yang tidak hancur melihat anak-anak mereka dibunuh dengan cara dipukul-pukulkan ke pohon sampai mati! Ya Tuhan! Hingga kini, pohon tersebut masih berdiri tegak dengan dedaunannya yang rindang, dan batang yang berdiri kokoh dan keras. Andaikan mampu bersuara, mungkin pohon ini tidak akan berhenti menangisi tubuh-tubuh mungil yang tidak punya kekuatan untuk melawan dan hanya bisa menangis dan menjerit sesaat menjelang ajal menjemput. Rezim Pol Pot melakukan ini karena tidak ingin memberikan kesempatan bagi anak-anak ini untuk tumbuh dan ketika dewasa mereka kemudian membalas dendam atas apa yang terjadi dengan orangtua mereka. 

Pohon untuk membunuh bayi dan anak-anak
Di pohon inilah tubuh-tubuh mungil itu dihantamkan sampai mati

Banyak pengunjung meninggalkan kenang-kenangan, berupa gelang aneka warna yang digantungkan di pohon ini dan juga pagar bambu yang mengelilingi area kuburan massal para korban wanita dan anak-anak. Mereka melakukan ini sebagai penghormatan, juga sebagai ekspresi turut merasakan kesedihan dan kepedihan atas apa yang terjadi pada para korban.

Ketika proses penyiksaan berlangsung, ada sebuah speaker besar yang digantungkan di pohon untuk meredam suara jeritan, lolongan dan tangisan para korban agar tidak terdengar penduduk sekitar. 

Pohon untuk menggantung speaker
Pohon untuk menggantung speaker agar jeritan dan tangisan korban tidak terdengarpenduduk sekitar.

Jika suatu saat berkesempatan untuk datang ke tempat ini, saran mamak patuhilah petunjuk-petunjuk yang ada, terlebih peraturan atau larangan area-area yang boleh dilalui atau tidak. Hati-hati dengan langkah kita karena kita tidak tahu apa yang mungkin terinjak oleh kaki kita. Ini sebagai bentuk respek dan empati kita terhadap para korban. Bulu kuduk mamak meremang, karena merasakan aura kesedihan dan kengerian yang mencekam ketika mamak melihat ada tulang-belulang dan pakaian-pakaian para korban yang terkubur disini puluhan tahun lalu tetapi masih menyembul ke permukaan tanah sampai saat ini karena adanya kikisan air hujan. 

Jejak pembantaian di Killing Fields
Pakaian para korban yang masih terus menyembul ke permukaan tanah sampai sekarang

Selama berada di sana bersama para pengunjung lain, tidak ada dari kami yang bercakap-cakap, semua diam dan hening, terlarut dengan perasaan sedih dan haru, membayangkan betapa mengerikannya suasana saat kebrutalan ini berlangsung berpuluh tahun yang lalu.

Sebelum meninggalkan Killing Fileds, di sebelah kiri pintu keluar, ada sebuah museum. Bagi yang ingin melihat seperti apa wajah Pol Pot dan rekannya Duch ( 2 orang yang paling bertanggung jawab atas tragedi ini ) bisa mampir ke museum ini. Ketika mamak melihat foto kedua orang ini di museum, mamak bertanya-tanya, bukan siapakah mereka, tetapi “apakah” mereka ini ? Mengapa manusia bisa begitu kejam terhadap sesama mahkluk ciptaan Tuhan yang lain?

Jovita

Hi, saya Jovita, welcome to my blog
Blog ini berisi tentang cerita perjalanan , petualangan, kisah hidup dan pemikiran-pemikiran pribadi saya sebagai seorang perempuan. Pernah berprofesi sebagai dosen, tapi akhirnya memilih untuk mengejar keinginan menjadi seorang penulis atau blogger.

8 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *